Krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia pada masa reformasi telah membawa dampak yang luarbiasa bagi peningkatan jumlah pengangguran. Di samping semakin besarnya arus urbanisasi yang menyebabkan semakin sulit mencari pekerjaan, sampai kepada buruh atau karyawan yang terpaksa berhenti kerja karena mengalami pemutusan hubungan kerja dari perusahaan tempat mereka bekerja.
Karena semakin kompleknya permasalahan ditambah semakin mendesaknya kebutuhan, menciptakan lapangan kerja serba cepat dan instan serta PKL adalah cara yang dianggap paling tepat. Dengan modal seadanya untuk mendapatkan barang dagangan yang dinilai cepat laku, kemudian dijual dengan untung yang tidak terlalu besar. Banyak orang berpikir bahwa menggeluti PKL adalah suatu pekerjaan hina. Namun tidak semuanya benar, Sebab banyak orang sukses diawali dari profesi PKL. Kegiatan PKL dianggap sebagai proses menciptakan diri mandiri di bidang ekonomi dan meningkatkan skill berdagang.
Memang tidak ada satupun kota di dunia ini yang tidak mempunyai PKL, khususnya Kota Surabaya sebagai kota terbesar ke-dua di Indonesia. Saat ini hampir tak ada lahan kosong di seantero kota ini yang tidak ditempati PKL. Kondisi real di lapangan menunjukkan bahwa PKL dibagi adalah dua jenis di Kota Surabaya, para PKL “binaan” adalah PKL yang dianggap sah atau legal, kemudian lainnya merupakan PKL ilegal atau liar. PKL yang dianggap sah, adalah PKL yang menempati lahan yang mendapat persetujuan dari “yang berwenang”. Pengertian yang ber/wenang ini macam-macam, mulai dari perorangan sebagai pemilik lahan, sampai tingkat pengurus RT, RW, aparat kelurahan, kecamatan sampai tingkat Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Semakin bertambahnya jumlah PKL yang kurang terkendali, dirasa perlu dilakukan konsep penataan PKL yang effective guna menjaga keindahan kota. Dimulai dari mengidentifikasi karakteristik PKL, mengidentifikasi perwatakan fisik PKL, kemudian dilanjutkan dengan strategi penataan PKl.
Untuk elemen-elemen yang perlu diatur dalam penataan pedagang kaki lima yang menyangkut aspek kawasan fungsional kota adalah sebagai berikut:
(1). Bentuk dan Masa Bangunan
Seperti yang telah dijelaskan diatas pada elemen-elemen dari perancangan kota bahwa pada perkembangan selanjutnya bentuk dan masa bangunan meliputi tinggi bangunan, masa bangunan, kondisi sekitar bangunan, skala bangunan, proporsi, material, tekstur, pencahayaan dan fasade bangunan (Shirvani, 1985:14). Sedangkan untuk penataan fisik dalam studi ini meliputi:
-Bentuk fisik
Merupakan pembentukan masa bangunan dalam bagian-bagian utama, dimana sifat dan karakter dari tiap-tiap bentuk juga memiliki kesan tersendiri.
-Penampilan bangunan
Dicapai dengan keserasian warna, tekstur, bentuk, struktur dan bahan pada suatu kawasan pada bangunan yang sudah ada. Adapun salah satu pencapaiannya adalah dengan cara gabungan pilihan yaitu pendekatan secara kolektif dengan sentuhan lunak dan seragam dengan tampilan bangunan-bangunan formal yang sudah ada, sehingga tidak terjadi kerumitan visual. (Shirvani, 1985: 11-23).
(2). Estetika
Keindahan suatu kota sangat tergantung kepada elemen-elemen dan keterpaduan elemen-elemen yang ada disekitarnya. Menurut Kevin Lynch (dalam Zahnd, 1999: 163) keindahan suatu wajah kota dapat menciptakan pengalaman yang menyenangkan dengan timbulnya kesan tempat, keadaan baik dan keamanan.
Menurut Beckley (dalam Catanese, 1986: 97) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi estetika wajah kota yaitu:
-Persepsi pandangan, adalah suatu fungsi mata yang menerima pesan-pesan dan diterjemahkan oleh otak menjadi bayangan. Persepsi ini dicapai dengan adanya skala dan warna, dimana skala dapat dicapai dari warna. Karena warna juga dapat memberikan kesan skala ruang seperti luas-sempit, besar-kecil, tinggi-rendah.
-Anthropometri, dengan ukuran-ukuran atau dimensi-dimensi yang manusiawi akan membentuk kesan kepada kita terhadap suatu kota atau lingkungan
-Stimulan atau gejala responsif, pemakaian jenis dan tekstur bahan akan mempengaruhi kesan kita untuk menggunakan atau tidak menggunakan fasilitas suatu kota.
(3). Aktivitas pendukung Kegiatan Kota (Activity Support)
Kegiatan sektor informal di perkotaan adalah merupakan salah satu bentuk pendukung (activity support) dari kegiatan yang ada di suatu kota. Adapun pengertian dari aktivitas pendukung kegiatan utama kota (activity support) yang secara mendasar berisi sekumpulan kriteria umum yang mengarah kepada kepentingan pergerakan, kegembiraan/kesenangan dan dimensi street life dari suatu lingkungan kota. Hal ini dapat diperoleh melalui fasilitas-fasilitas fisik kota yang menampung beraneka ragam kegiatan. Sehingga dengan adanya pendukung kegiatan ini kawasan kota menjadi lebih hidup dan dipandang sebagai tempat interaksi kegiatan masyarakat sesuai dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
Aktivitas pendukung dapat merupakan ruang bebas untuk manusia, sebagaimana jalan sebagai ruang bebas untuk mobil, hanya disini diperlukan tempat untuk istirahat, berteduh dan sebagainya. Sedangkan, untuk menampilkan ciri dari lingkungan kota yang ada, hendaknya kriteria desain dari bentuk dan fungsi pendukung kegiatan juga mempertimbangkan aspek kontekstual dan serasi dengan lingkungannya. Dalam perancangan aktivitas penunjang hal-hal/kriteria yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
-Perlu adanya koordinasi antara kegiatan dan lingkungan binaan (ruang-ruang) yang dirancang
-Adanya keragaman dan intensitas kegiatan yang dihadirkan dalam suatu ruang tertentu
-Memperhatikan aspek sosial dan budaya kota
-Perlu adanya bentuk, lokasi yang terukur dari fasilitas yang menampung dan manusiawi agar tidak terjadi konflik kepentingan antar pengguna ruang di kota.
-Adanya fasilitas penunjang seperti tempat istirahat, taman agar dapat menikmati lingkungan sekelilingnya.
Semakin dekat dengan pusat kota, semakin tinggi intensitas dan keragaman kegiatan-kegiatannya.
(4). Jalur Pejalan Kaki
Sistem jalur pejalan kaki yang baik adalah dapat mengurangi ketergantungan pemakaian kendaraan bermotor di kawasan pusat kota, meningkatkan akses dan kunjungan perjalanan ke pusat kota, menciptakan lingkungan yang nyaman dan manusiawi, menambah aktivitas pedagang eceran dan membantu peningkatan kualitas udara di sekitarnya. Selain itu jalur pejalan kaki juga harus berperan dalam mendorong interaksi antara elemen dasar dalam perancangan kota, yang terkait erat dengan kondisi lingkungan yang terbangun dan pola aktivitas serta sesuai secara efektif dengan perubahan fisik kota di masa mendatang.
Pertimbangan yang harus diperhatikan dalam perencanaan jalur pejalan kaki diantaranya adalah (Abubakar, 1995:73):
-Menerus, fasilitas pejalan kaki harus menerus, langsung dan lurus ke tujuan
-Aman, pejalan kaki harus merasa aman selama berjalan kaki, baik pada jalurnya sendiri maupun dalam hubungannya dengan suatu sistem jaringan lalu lintas lainnya
-Nyaman, permukaan fasilitas pejalan kaki harus rata, kering dan tidak licin pada waktu hujan, cukup lebar dan kemiringannya sekecil mungkin.
-Mudah dan jelas, fasilitas pejalan kaki harus mudah dan cepat dikenali.
(5). Perpakiran
Elemen parkir yang merupakan bagian dari sirkulasi yang mempunyai pengaruh terhadap kualitas lingkungan, diantaranya:
-Menunjang keberadaan aktivitas perdagangan di pusat kota (dimana parkir merupakan hal yang paling penting)
-Memberikan dampak visual terhadap bentuk fisik dan struktur suatu kota.
Bedasarkan penempatannya, parkir dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (Abubakar, 1995: 144-145):
-Parkir di tepi jalan (on-street parking)
Parkir yang penempatannya di sepanjang tepi badan jalan dengan atau tanpa pelebaran jalan untuk fasilitas parkir. Parkir ini sangat menguntungkan pengunjung yang menginginkan parkir dekat dengan tempat tujuan. Kerugiannya adalah mengurangi kapasitas kendaraan pada ruas jalan tersebut yang diakibatkan berkurangnya jalur lalu-lintas.
-Parkir di luar jalan (off street parking)
Jenis parkir yang penempatannya pada area khusus di luar badan jalan, yang umumnya mempunyai pelataran umum yang terbuka maupun tertutup. Hal ini memungkinkan orang/pengunjung untuk tidak terpaku pada satu tujuan saja tetapi dapat pergi ke beberapa tempat yang ada di sekitarnya.